19 November 2007

Dari Hati: Nggak Level?


Suatu sore, sekitar 5 meter dari mulut gerbang kantor, sebuah sedan Peugeot 406 silver nyaris menyerempet seorang tukang ojek sepeda.
Serta merta nih tukang ojek bersumpah serapah menyebut nama-nama semua hewan di kebun binatang sambil mengacung-acungkan tangan.

406 pun berhenti. Seorang ibu muda in her late 30’s, membuka kaca jendela & melongokkan kepalanya keluar. Pakai blazer & make up minimalis, typical wanita kantoran. Dia ucapkan maaf, kemudian diam sejenak melihat si tukang ojek yang belum selesai juga “ngabsenin” nama-nama hewan itu. Dari raut mukanya, si ibu kelihatan ingin “berdamai”.

Bukannya berpihak, tapi penulis melihat sendiri kalau yang salah sebenarnya adalah si tukang ojek yang jalannya “nyleot-nyleot” layaknya si empunya raya Gaya Motor I ini.

Si ibu kemudian menutup kaca dan menjalankan mobilnya lagi, meninggalkan si pemilik kebun binatang yang ceriwisnya belum kelar-kelar juga :)

Banyak alasan yang coba penulis tebak. Mungkin dia orang yang malas ribut & lebih memilih “ngalah”. Atau 1001 alasan lain. Tapi menurut penulis, ibu ini patut diacungi jempol. Kenapa sih kita musti ribut ama orang yang nggak bisa diajak ngomong? Anggap saja orang rese’ ini dari sisi intelektualitas nggak level kita. Haruskah kita buang intelektualitas & downgrade ikut-ikutan ribut dan menyebut nama-nama hewan pula? Mendingan nyebutin nama-nama tumbuhan deh, biar lebih lama “ngabsen”nya. (Syam Wasito)

“ya Tuhan, ampunilah hamba-Mu yang sok industrialis & intelektual ini…”

Peace, Say No to War

14 November 2007

Dari Hati: It’s All About The Money


Membaca judul tulisan ini mengingatkan pada sebuah judul lagu yang dibawakan oleh Meja pada pertengahan era 90-an.

Sebenarnya mungkin hal inilah yang menjadi motif hidup kebanyakan manusia modern. Bekerja membabi buta memeras otak dan memelintir otot atau kalau orang bule istilahkan “like eager beaver”.

Semua dilakukan untuk mendapatkan “uang lebih”. Macam-macam istilah dipakai untuk memperhalusnya: kesempatan berkarir atau kehidupan yang lebih baik. Semuanya sah-sah saja asalkan masih dalam koridor “halal” dan baik (biasanya disebut thoyib, seperti nama guru agama di kampung dulu :)).

Mari kita coba berpikir dari sudut yang lain, out of the box.
Beberapa bulan yang lalu sambil berboncengan motor, penulis sempat ber-dialog utara selatan (ngomong ngalor ngidul) dengan seorang rekan sepulang kantor.

Kami bercerita tentang cita-cita, impian dan rencana ke depan. Rekan ini dengan sangat bersahaja berkata bahwa dimanapun kita bekerja, yang penting adalah memberikan yang terbaik. Karena menurut dia pekerjaan dan karir sekedar “alat”, artinya kedua hal tersebut bukanlah “tujuan”.

Sejenak penulis terhenyak. Nggak tau musti komentar apa. Ucapannya yang cukup simple itu membawa perenungan yang dalam. Penulis jadi sadar kalau di dunia ini kita cuma sekedar “mampir minum”. Oh, alangkah tentramnya hidup rekan ini, dengan segala kesadarannya. (Syam Wasito)

“…untuk dia yang sedang menanti kelahiran putra pertamanya…”
Picture: www.masternewmedia.org - Photo credit: Cristian Andrei Matei

13 November 2007

Dari Hati: Mak Comblang


Entah bagaimana ejaan yang benar, ada yang bilang Mak Jomblang memakai huruf “J”, bukan “C”. Tapi bukan masalah “berbahasa” yang baik & benar yang ingin saya tulis disini.
Tadi malam ada sejumput perasaan gembira dan haru dalam hati saya. Seorang sahabat yang telah sekian lama “menanti” saat-saat indah bertemu “pasangan jiwa”-nya -entah siapa & entah dimana- tiba-tiba dia sms saya.

“Om, aku kmrn sdh telp. dia, Alhamdulillah omongan kami nyambung & gak kaku-2 amat. Thx ya. Smoga ini adlh dia.”

Pesan singkat, tapi penuh makna. Dua minggu yang lalu saya memperkenalkannya dengan seorang family jauh. Yang kebetulan dia juga sedang “menanti”.
Saya coba cross check ke pihak lawan. Ternyata benar, “nyambung”. Family saya kelihatan begitu bahagia. Sudah lama saya tidak melihatnya se-ceria malam ini. She looked so happy. Matanya berbinar, ada secercah harap disana.

Memang masih terlalu premature untuk menyimpulkan ending story-nya. Ini kan masih tahap paling awal: kenalan. Lagipula jodoh, rizqi dan maut bukanlah urusan kita. Semua adalah bisnis-Nya.

Tetapi ada kebahagiaan tersendiri bisa “membantu” mempertemukan mereka. Apalagi bila menengok beberapa tahun ke belakang. Saya dapatkan dia, yang ada di hati saya sekarang, juga dari seorang Mak Comblang. Inilah yang membuat haru. Segala kejadian berulang kembali, tahap demi tahap. Bukan déjà vu, tapi lebih mirip “reuni”.

Saat itu, sang Mak Comblang -adik saya- membuat hipotesa sendiri. Menurut dia memperkenalkan seseorang adalah pahala, dan kalau ternyata berjodoh berarti ada 2 pahala. Dia memang suka “mengarang”. Tapi biarlah, saya juga ingin “meneruskan” karangannya itu.

Saya ingin meneruskan dan berbagi kebahagiaan yang telah saya rasakan 5 tahun yang lalu hingga saat ini dengan sahabat yang lain, yang sedang “menanti” pasangan jiwanya. Saya ingin mendapatkan “pahala” itu. Semoga 2 pahala sekaligus. Amin. (Syam Wasito)

Hidup nepotisme! :)